Friday, November 30, 2007

Perubahan Iklim Kerja

Kepemimpinan yang tidak konsisten dan arogan memang sangat berdampak negatif, dimana inkonsistensi dapat menyebabkan kebingungan apa yang benar dan yang salah serta ketidakjelasan standar, sementara arogansi dapat menyebabkan hancurnya hubungan kerjasama tim yg baik di dalam organisasi.

Dalam salah satu kerangka yang digunakan untuk mengelola iklim kerja, faktor kerjasama atau komitmen tim dan kejelasan merupakan faktor2 yang menentukan baik buruknya iklim kerja. Jikalau pemimpin menunjukkan perilaku yang menyebabkan kerjasama/komitmen tim menjadi buruk dan muncul banyak ketidakjelasan, maka sudah pasti akan berdampak pada menurunnya iklim kerja, dan pada ujungnya akan berdampak pada turunnya kinerja perusahaan. Kita sendiri dapat
merasakan, jika atasan kita membuat tidak jalannya kerjasama dgn pihak lain di internal perusahaan (mis dgn bagian/departemen lain), maka kita sebagai bawahan akan kena getahnya karena menjadi sulit utk berhubungan dengan bagian/dept tsb utk menyelesaikan pekerjaan kita. Akhirnya karena pekerjaan kita sulit diselesaikan karena hal2 non teknis (hubungan kerja), pdhal scr teknis kita mampu, maka kita akan kesal. Kekesalan yg terus menerus akan membuat semangat kerja kita turun. Pada saat seperti inilah iklim kerja sebenarnya sdh "rusak", dan dapat dipastikan dampaknya akan membuat kinerja perusahaan turun.

Faktor2 lain yang biasanya mempengaruhi iklim kerja adalah faktor fleksibilitas (apakah banyak atau tidak aturan2 yg tidak perlu di dalam organisasi), delegasi tanggungjawab (apakah pemberdayaan tanggungjawab cukup diberikan utk penyelesaian pekerjaan), standar (apakah ada penekanan pada pencapaian standar kinerja yang tinggi), dan penghargaan (apakah ada penghargaan dan pengakuan yang dikaitkan dengan pencapaian kinerja).

Lalu, jikalau iklim kerja sudah tidak sehat, bagaimana memperbaikinya? Ini pertanyaan yang mudah tapi biasanya sangat sulit untuk diimplementasikan, karena perubahan iklim kerja banyak menyangkut perubahan gaya kepemimpinan, dan perubahan gaya kepemimpinan banyak menyangkut perubahan kompetensi perilaku. Nah, kita tahu bahwa perubahan perilaku pada diri manusia adalah hal yang tidak gampang. Pada tataran knowledge (tahu) dan skill (mampu), kita dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan orang tersebut, sehingga dia memahami pentingnya menerapkan berbagai gaya kepemimpinan sesuai dengan situasinya, sehingga dia dibekali dengan berbagai amunisi gaya kepemimpinan. Pelatihan kepemimpinan dan job coaching (termasuk assignment, rotation, mentoring, shadowing, dll) dapat dilakukan untuk mengasah kemampuan kepemimpinan ini. Tapi yang paling sulit adalah faktor perubahan perilaku (behavior) atau kemauan dari pemimpin ini
untuk merubah perilakunya sehingga tidak lagi arogan dan tidak konsisten. Untuk hal ini perlu dikembangkan kompetensi perilaku nya dalam hal kerjasama tim, hubungan interpersonal, integritas (walk the talk, konsisten), dan orientasinya pada keteraturan. Pengembangan kompetensi ini dapat dilakukan dengan coaching dan counseling, dan change management program yang melibatkan semua jajaran management (top dan menengah). Dalam change management program ini akan dicapai hal-hal spt: kesadaran akan dampak negatif dari perilaku2 selama ini, komitmen untuk mengubah kondisi negatif tersebut, kesepatakan bersama akan target kondisi yang diinginkan, kesadaran bersama akan kesenjangan yang ada antara kondisi yang diharapkan dan yang saat ini, dan komitmen bersama akan rencana aksi atau program yang akan dilakukan untuk meningkatkan kondisi iklim kerja, serta kesepatakan untuk monitoring dan evaluasi kemajuan program perubahan yang dilakukan.

Jika change management program ini dilakukan, dan berbarengan dg coaching/counseling, serta peningkatan kemampuan kepemimpinan, maka iklim kerja akan dapat diperbaiki. Memang tidak akan bisa dilakukan dalam waktu semalam (overnight), karena umumnya perlu kesadaran dulu baru terjadi perubahan. Ada proses yg perlu dilewati dalam perubahan
perilaku, yang saya sering sebutkan sebagai kurva "SARAH". Pertama "S" ada di titik kiri bawah, dimana pd kondisi awal perubahan akan ada SHOCK, dimana pihak-pihak yang terkena perubahan akan terkejut mengapa situasi yg dia sudah nyaman (comfort zone) mau dirubah. Lalu selang beberapa waktu, orang akan memasuki tahap "A", titik lebih atas ke
kanan, dimana pd kondisi ini keterkejutan di awal itu akan berlanjut ke kemarahan ("ANGRY") terhadap pihak-pihak yang mau melakukan perubahan. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka akan memuncak dan masuk ke tahap "R", di titik paling tinggi ke kanan, dimana pd kondisi ini orang yang marah tadi akan menolak ("REJECT") program perubahan tersebut. Inilah masa dimana resistensi paling besar dan kesuksesan program perubahan dipertaruhkan. Jika komitmen
perubahan tetap konsisten, dan komunikasi dan sosialisasi terus dilakukan, terutama manfaat dari perubahan tsb, kepada pihak-pihak yang menolak, maka kemudian situasi akan mereda dan masuk ke tahap "A", di titik turun ke kanan, dimana pd kondisi ini mereka mulai menerima perubahan ("ACCEPT"). Setelah itu program perubahan akan lebih lancar berjalan, dan masuk ke tahap akhir di titik paling rendah di sebelah kanan, yaitu tahap "H" (HOPE), dimana semua orang sdh memiliki harapan yang besar akan dampak positif dari perubahan yg dilakukan.

Change management program akan mendorong agar proses perubahan dapat melalui titik kritis di puncak "R" (REJECT), dan terus berjalan hingga ke titik "H" (HOPE). Kegagalan proses perubahan utk memperbaiki iklim kerja terjadi di titik kritis "R", dimana gelombang penolakan tidak dapat diatasi.

Salam hangat perubahan iklim kerja dari si cantik "SARAH" !!

Saturday, November 24, 2007

Tanya:

Perkenalkan nama saya Faisal, mahasiswa pasca sarjana (S2) Program Pengembangan SDM Universitas Airlangga. Saya ingin menanyakan bagaimana caranya perusahaan meng-handle sistem kompensasi di organisasi baik bisnis maupun pemerintahan, dari sudut pandang penanganan di bidang administrasi, komputer dan lain-lain. Terima kasih sebelumnya.

Jawab:

Dear Faisal,

Sejujurnya cukup sulit untuk menjelaskan secara menyeluruh bagaimana mengelola sistem kompensasi atau sistem remunerasi di organisasi dalam sebuah email spt ini; oleh karena cukup kompleks dan tergantung sistem kompensasi spt apa yg sesuai dgn organisasi ybs.

Namun scr prinsip umum maka sistem remunerasi dapat dikelola sesuai dgn filosofi dasar yg diinginkan organisasi dalam memberikan remunerasi kepada anggota organisasinya. Filosofi disini adalah jawaban dari pertanyaan "What do we want to pay for in our organization?"
Apakah perusahaan memberikan remunerasi untuk membayar pekerjaan yg dilakukan, membayar kinerja yg ditunjukkan, membayar masa kerja, membayar loyalitas, membayar keahlian yg dimiliki karyawan, atau apa. Kemudian, setelah itu ditentukan remuneration strategy nya, "How much of what element?" Seberapa besar jumlah yang akan diberikan untuk setiap elemen remunerasi yang mau diberikan. Bagaimana remuneration mix yg mau diberikan kepada karyawan? Seberapa kompetitif dibandingkan market/pasar tenaga kerja? Seberapa berbeda remunerasi yg diberikan antar level jabatan dan antar fungsi?

Sekarang ini pengelolaan remunerasi di banyak organisasi banyak mengarah ke prinsip 3P (Pay for Position, Pay for Performance, dan Pay for People), dan dengan mempertimbangkan market competitiveness. Dulunya kebanyakan hanya mungkin menganut prinsip Pay for Position, dimana tingkat remunerasi yg diberikan sesuai dengan posisi atau jabatan yg dikerjakan. Walaupun dalam banyak praktek pengukuran bobot posisi/jabatan seringkali tidak sesuai dengan tingkat remunerasi yg diberikan, shg menimbulkan masalah ketidakadilan. Pay for Position saat ini penerapannya harus dikelola dgn dasar yg baik terhadap pengukuran yg lebih obyektif terhadap bobot jabatan (job size), dimanasecara umum, semakin besar bobot jabatan maka semakin besar remunerasi yg diterima. Sementara pay for performance, melihat bhw pengelolaan remunerasi harus berdasarkan kinerja yg ditunjukkan oleh karyawan, shg mendukung pencapaian target kinerja organisasi. Sehingga secara umum, orang dgn kinerja lebih tinggi akan menerima remunerasi yg lebih baik daripada yg kinerja nya lebih buruk. Dampak kinerja ini ke remunerasi bisa dalam bentuk kenaikan gaji dasar (merit increase) atau dalam bentuk
insentif/bonus, misalnya. Sementara pay for people, biasanya pengelolaan remunerasi dikaitkan dengan kompetensi yang dimiliki oleh orang. Sehingga secara umum, orang dengan kompetensi yang lebih tinggi akan menerima remunerasi yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan utk mengaitkan remunerasi kepada pengembangan kompetensi karyawan, shg karyawan termotivasi utk meningkatkan kompetensi yg mereka miliki, dan pada akhrinya akan berdampak pada meningkatnya kinerja organisasi.

Pengelolaan sistem remunerasi sebaiknya dilakukan dgn tujuan utk menjaga internal fairness dan external competitiveness, lalu dijaga agar sesuai dgn financial capability dari organisasi tsb, yang pada akhirnya diarahkan utk mempengaruhi motivasi dan perilaku orang/karyawan yg dapat menunjang pencapaian kinerja organisasi. Secara administrasi, pada umumnya saat ini dapat ditangani dengan sistem HRIS dimana ada modul payroll dan salary/benefit management didalamnya.

From: Klinik HR di www.portalhr.com