Sunday, October 21, 2007

Evaluasi Kinerja: Apakah kita memiliki patokan yang sama untuk mengukur?

Sabtu lalu (20 Okt), genap 3 tahun SBY-JK memerintah negeri ini. Seperti biasa pada tahun-tahun sebelumnya dalam menyambut tahun berlalu dalam masa kepemimpinan duet ini, para politisi dengan rajin memberikan evaluasi mereka terhadap kinerja pemerintahan. Di salah satu media dituliskan bahwa sebuah partai pendukung pemerintah menyimpulkan bahwa nilai rapor pemerintah adalah 8. Lalu seakan ingin menyanggah, partai lain yang memposisikan diri sebagai oposisi menyatakan nilai rapor pemerintah hanya 5, seperti bak anak sekolah yang bakal tidak naik kelas sehingga tidak layak melanjutkan ke jenjang 2009.

Namun tulisan ini bukan mau mengulas aspek politik dari peristiwa ini. Apa yang menarik yang ingin saya refleksikan dari peristiwa ini adalah bagaimana penilaian-penilaian ini tidak dapat sebenarnya dibandingkan satu sama lain karena tidak memiliki patokan penilaian yang sama. Dalam berita di media tersebut memang secara selintas diberikan alasan mengapa nilai tertenti diberikan, dimana ada beberapa aspek yang dijadikan sebagai parameter penilaian, misalnya kondisi politik, penegakan hukum, kondisi ekonomi, dan lainnya. Akan tetapi saya tidak yakin apa indikator ukuran yang digunakan, baik ukuran kualitatif maupun kuantitatif, oleh berbagai partai politik tersebut sama. Oleh karena itu klaim kinerja pemerintah oleh partai-partai tersebut, apakah baik atau tidak, menjadi kurang bermakna karena kita tidak memiliki kesepakatan akan apa yang mau digunakan sebagai parameter pengukuran kinerja pemerintah. Kalaupun ada, maka rakyat tidak dididik untuk memahami dengan baik apa parameter-parameter yang disepakati itu, sehingga rakyat menjadi lebih mampu menilai apakah pemerintah berhasil atau tidak.

Sebenarnya hal yang sama sering terjadi di organisasi komersial, dimana banyak sekali perusahaan-perusahaan juga tidak menyepakati secara internal apa ukuran-ukuran kinerja yang akan mereka gunakan sebagai patokan untuk menilai kinerja perusahaan secara keseluruhan, kinerja tiap bagian, maupun kinerja individu/karyawan. Kalau sudah begini, maka seringkali akan ada perbedaan pendapat dan persepsi terhadap kondisi kinerja di perusahaan tersebut. Bisa saja karyawan merasa dia telah bekerja dengan baik, sementara atasannya merasa sebaliknya. Perbedaan persepsi seperti ini seringnya dapat berbuntut pada konflik yang dapat menurunkan motivasi, karena penilaian kinerja ini berimplikasi pada perkembangan karir dan remunerasi karyawan.

Oleh karenanya, pelajaran yang dapat dipetik dari sini adalah agar perusahaan dapat menyepakati secara internal indikator dan target kinerja yang akan digunakan sebagai parameter untuk menilai kinerja, baik pada level korporat, bagian/unit kerja, maupun individu, sehingga ada basis dan persepsi yang sama dalam mengevaluasi kinerja.

No comments:

Post a Comment